Cerpen
Tatapan Terindah di Awal Semester
Siang itu, aku menghampiri sebuah lorong yang teramat dalam. Keringat kepanansan membasahi wajahku. Tubuhku mulai layu tergilir lemas karena derasnya arus keringatku.
Akupun mulai ragu menghampiri ruangan itu.
Kolega-kolegaku dengan ceria wajahnya berjalan sambil melompat-lompat naik turun dari setiap anak tangga yang ada di situ.
Beberapa menit kemudian, Handphoneku bergetar sambil berdering dalam kantongku. Tanganku menyusuri kantongku, lalu aku membuka pasword Handphone ku dan melihat notifikasi-notifikasi di WhatsApp ku. Aku tersenyum dengan layar handphone ku yang seolah-olah mengajakku berbicara dalam tulisan dengan ketikan untuk mengusir kesepian yang menyelimutiku saat itu.
Aku menunggu lama di pintu gerbang bagian barat, dengan harapan akan ada seorang yang mengajakku masuk menghampiri ruangan itu. Mondar-mandir tak tentu arah aku lakukan dikala aku lelah duduk diam membisu seperti batu diatas tembok penahan itu.
Langkahku pada saat itu benar-benar patah. Hujan di bulan Juni pun tidak mampu mengalahkan keraguanku. Senyuman sinis dibibirku mulai terlihat.
Tiba-tiba Handphone ku berdering lagi dalam genggamanku.
Pesan singkat dari seorang Bruder masuk di WhatsApp ku.
"Semuanya ke Laboraturim lantai dua!"
Dengan semangat teman-teman membalas pesan itu.
"Baik Bruder"
"Baik Bruder, terimakasih"
" Selamat siang Bruder, baik Bruder terima kasih".
Aku membaca pesan itu sambil berdiri dan berlari. Kesana kemari aku mencariya namun tak kutemukan tanda-tanda menuju ruangan itu. Masker anti Virus Corona yang aku kenakan, aku simpan rapat-rapat dalam tas kecilku.
Aku lelah.
Seketika aku sampai di depan ruangan Prodi Bahasa Indonesia, sekumpulan orang menatapku penuh kebingungan.
Aku tersenyum.
Salah seorang gadis seniorku membalas senyumanku yang tak kala manisnya dari senyuman ibundaku.
Dengan berani aku menghampiri seorang laki-laki tampan yang berdiri di pinggir papan pengumuman disamping ruangan Prodi Bahasa Indonesia.
Tanpa ragu, aku memperkenalkan namaku.
Tak lama kemudian ia melepaskan maskernya lalu berjabat tangan denganku.
Van.
Iya, namanya Van.
Dengan keraguan dalam dadaku, bertanya sesama laki-laki pun aku tak mampu.
Lagi-lagi Handphone Ku berdering.
"Cepat sudah! Perkuliahan dimulai 2 menit lagi!" (Pesan terakhir dari Bruder Itu).
Dengan gerogi aku menghampiri laki-laki yang berdiri di pinggir papan pengumuman itu ( Kak Van).
"Kak, ruangan Laboraturium itu di mana?
"Ohh...Ruangan itu? (Dia kembali bertanya kepadaku).
"Iya kak". (Jawabku).
"Itu" (Sambil menunjuk sebauh gedung besar yang berdiri tepat di belakang ruang Prodi Bahasa Indonesia).
"Terus, ruangan Laboraturium lantai dua kak bagian mana"?
"Kamu masuk kedalam, terus naik tangga menuju lantai dua. Nanti kamu akan melihat tulisan Ruangan Laboraturium". (Dia menjelaskannya dengan bahasa tubuhnya).
"Terima kasih kak".
"Hmm" (Jawabnya).
Seketika aku berlari dan mencari tangga menuju lantai dua itu. Sesampai di lantai dua, aku menelusuri dari tiap-tiap ruangan yang tertata rapi dan tak berantakan. Namun tak ku temukan.
Aku menoleh ke samping, tiba-tiba mataku tertuju pada tulisan yang melekat erat di depan ruangan itu, tepatnya di samping pintu ruangan.
Aku tertawa melihat tulisan itu.
(Tinggalkan Sepatu, sendal dan Tas).
Tanpa malupun aku menuruti tulisan itu, dan membuka sepatuku, melepaskan tasku di situ. Lalu aku simpan di sebuah sudut di gedung itu.
Aku menghampiri pintu ruangan itu, lalu mengetuk pintunya.
Seketika aku mengetuknya, terdengar sebuah suara dibalik pintu ruangan Laboraturium.
Aku mendorong pintu itu lalu masuk kedalam.
Wajah-wajah baru menatapku penuh kebahagiaan.
"Selamat siang Bruder, selamat siang teman-teman". (Ucapku dengan polos dan lugu).
"Iya, selamat siang". "Selamat siang".(Diiringi suara dari teman-teman kelasku yang lagi sibuk mengikuti perkuliahan hari itu).
"Silakan duduk!" (Bruder itu menyuruhku).
"Terima kasih Bruder" (Jawabku).
Langkah demi langkah aku lalui dalam ruangan.
Namun, tak dapat kutemukan bangku kosong di bagian depan dalam ruangan Laboraturium itu.
Keringat keraguan mulai bermunculan dalam rautan mukaku.
Lalu, aku berjalan lagi menuju bagian kanan ruangan itu, aku melihat bangku kosong tepat di urutan kedua dari depan yang belum di isi oleh siapapun.
Aku menghampiri bangku itu.
Beberapa menit kemudian, Bruder menyuruh kami untuk membuka Komputer yang ada di depan muka kami masing-masing.
Tanganku gemetar. Wajarlah, selama dua tahun setelah aku lulus dari bangku sekolah menengah, aku tidak lagi meraba benda-benda elektronik seperti komputer.
Namun, karena keberanianku aku membukanya sesuai suruhan dari Bruder.
Setelah membuka komputerku, aku mendengarkan penjelasan singkat dari Bruder, sambil menatap layar lebar yang diterapkan di papan tulis whiteboard dalam ruangan Laboraturium.
Seketika aku menoreh ke kiri, perasaan malu tiba-tiba muncul secara mendadak dalam badanku. Dengan terpaksa aku memaksa kepalaku untuk tetap menoreh, aku melihat perempuan di sampingku kebingungan. Layar depan komputernya masih tetap sama. Berbeda dengan layar komputer di depan wajahku.
Badannya sangat kaku.
Jarak satu meter di antara kami menghalangiku untuk membantuhnya.
Wajarlah.
Mengikuti protokol kesehatan atau di singkat prokes pada saat itu masih sangat ketat.
Jarak satu meter itu, memaksa tanganku untuk bisa membantunya.
Andai saja tanganku memiliki mata pada saat itu, pasti dia bangga bisa melihat wajahnya.
Setelah membuka komputernya, aku kembali fokus diri mendengarkan penjelasan les lanjutan dari Bruder.
Bruder menyuruh kami untuk membuat file sebagai tugas pertama hari itu.
Lagi-lagi perempuan disamping kiriku kesulitan.
Teman-teman yang lain juga mengalami kendala pada saat itu. Karena komputer mereka terganggu, akhirnya mereka meminta bantuan Bruder untuk memerbaiki komputer-komputer tersebut.
Karena perhatian Bruder itu terarah pada teman-temanku, aku sempatkan diriku berkenalan dengan perempuan yang duduk disampingku.
Dari namanya saja, mampu membangkitkan gelora asmara dalam dadaku. Hatiku berketuk keras pada saat itu.
Denyut jantungku berdetak tak beraturan.
Namun, karena tatapan yang sekejap tak membuatku benar-benar melihat parasnya.
Di satu sisi aku malu berbicara padanya.
Apa karena dia seorang pendiam? Akupun tidak tahu.
Entah mengapa, aku yang tadi pagi malu dan hanya bisa diam membisu, tiba-tiba dipenuhi keberanian yang jika dibandingkan dengan keberanian para pahlawan masa penjajahan Belanda hampir sama.
Aku terus bertanya mengenai identitas dari perempuan yang tidak bisa saya sebutkan namanya.
Setelah semua tugasnya selesai, dia menatapku dari balik kaca mata yang ia kenakan pada waktu itu.
Sejak saat itu, dalam pikiranku hanya berisi tentang hal-hal tak karuan.
Jika ada alat untuk mengukur kebahagiaan, mungkin aku salah satu manusia yang memiliki banyak kebahagiaan saat itu.
Aku tersenyum bahagia.
Waktu perkuliahan kami saat itu tinggal beberapa menit lagi.
Bruder kembali berdiri di depan kami dan menyuruh kami menyimpan file tugas kami dalam komputer yang kami gunakan saat perkuliahan berlangsung.
Setelah itu, Bruder mulai bercerita.
Dia memperkenalkan dirinya dengan kami.
Dia juga memberitahukan kepada kami bahwa mata kuliah komputer di pelajari hanya satu semester.
Bruder itupun bercertia tentang Pengalamannya selama ia berada di Universitas tempat saya belajar.
Bruder itupun bercerita mengenai tulisan yang tertera di depan pintu ruangan itu.
Bruder itu sangat mencintai kebersihan.
Setiap mahasiswa yang masuk dalam ruangan Laborarurium, harus tanggalkan sepatu dan sendal di depan ruangan.
Beriringan dengan curahan hati Bruder, aku beranikan diriku menyodorkan Handphone ku kepada perempuan disampingku, meminta nomor WhatsAppnya. Aku sangat senang.
Kontak WhatsAppnya sudah ada dalam Handphoneku.
Tiba-tiba waktu perkuliahan kami selesai.
Kami di ijinkan untuk meninggalkan ruangan Laboraturium itu.
Setelah mebutup komputerku, aku berpamitan dengan Bruder. Aku berada di belakang perempuan itu saat menelusuri jalan keluar.
Komentar
Posting Komentar